Sunday, February 1, 2015

ULAMA' AL-QUR'AN Vs PEMBUNUH




Al-Quran mendarah daging dalam tubuhnya. Al-Quran menjadi perhiasan hidupnya. Aktivitasnya bersanding dengan al-Quran. Beliau adalah Said bin Jubair rahimahullah. Murid terbaik Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mantan budak Bani Wabilah yang berasal dari Kufah. Berkulit hitam, namun berkepribadian putih cemerlang. Ulama tabiin tersohor, hingga Imam Ahmad  mengatakan,

والله لقد قتل سعيد بن جبير، وما أحد على الدنيا من المسلمين، إلا وهو بحاجة إلى علمه

‘Telah terbunuh Said bin Jubair. Padahal semua kaum muslimin penduduk bumi  membutuhkan ilmunya Said bin Jubair.’ (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/467).

Beliau meninggal dibunuh oleh Hajaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Manusia dari bani Tsaqif, yang diangkat sebagai gubernur untuk memimpin wilayah Mekah, Madinah, Thaif, dan Iraq. Dia dikenal penguasa sangat kejam, membunuh banyak ulama dan kaum muslimin. Dialah yang membunuh Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhu, cucu Abu Bakr as-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Said bin Jubair, dulu pernah menjadi buron negara bersama Abdurrahman Ibnul Asy’ats. Setelah Ibnul Asy’at berhasil ditangkap, Said melarikan diri ke Asfahan. Ketika tempat pelariannya diketahui, beliau pindah ke Mekah. Setelah diketahui keberadaanya, beliau tidak pindah. “Demi Allah, saya malu kepada Allah, ke mana saya harus lari, dan tidak ada tempat menghindari dari taqdir Allah.”

Setelah pasukan mengepung rumahnya Said, mereka mengetuk pintu dengan keras. Setelah Said membukakan pintu, dan memperhatikan wajah-wajah mereka, beliau mengatakan,

حسبنا الله ونعم الوكيل ، ماذا تريدون؟

“Kami pasrahkan kepada Allah, dan Dia sebaik-baik tempat bergantung. Apa yang kalian inginkan?”
“Hajjaj ingin ketemu kamu sekarang.” Jawab mereka.

“Tunggu sebentar.” Beliaupun mandi, memakai minyak wangi, minyak rambut, dan memakai kain kafannya. Lalu keluar rumah sambil berdoa,

اللهم يا ذا الركن الذي لا يضام، والعزة التي لا ترام، اكفني شرّه

Ya Allah, Dzat pemilik tempat berlindung yang tidak terkalahkan. Sang Pemilik kekuatan, tidak ada satupun yang mampu menggapainya.

Said menemui Hajjaj dalam keadaan sangat marah, beliau menyampaikan salam,

السلام على من اتبع الهدى

Keselamatan bagi mereka yang mengikuti jalan petunjuk.
Ini adalah salamnya Musa kepada Firaun.
“Siapa namamu?” tanya Hajjaj.
“Said bin Jubair.”
“Salah, kamu Syaqy bin Kasir. (orang celaka bin binasa).” Tukas Hajjaj.
“Ibuku paling tahu tentang namaku.”
“Kamu celaka, ibumu celaka.” Kata Hajjaj.
“Masalah ghaib (celaka di akhirat), hanya Allah yang tahu.” Jawab Said.
“Apa pendapatmu tentang Muhammad?” tanya Hajjaj.
“Nabiyul Huda, Imamul Rahmah (Nabi pembawa petunjuk, Pemimpin kasih sayang).”
“Apa pendapatmu tentang Ali?” tanya Hajjaj.
“Beliau telah menuju Allah, imam Huda (pemimpi kebenaran).”
“Lalu apa pendapatmu tentang diri saya?” tanya Hajjaj.
“Orang dzalim, yang akan bertemu Allah dengan menanggung darah kaum muslimin.”
“Bawakan emas dan perak.” Pinta Hajjaj.

Para pasukan datang membawa dua ember emas dan perak dan langsung dituang di depan Said.
“Apa-apaan ini, Hajjaj? Jika kamu hendak sedekahkan barang ini agar bisa menebus hukuman Allah, itu amal soleh bagimu. Jika ini harta yang kamu rampas dari si miskin dengan cara sombong, demi Allah, hari kiamat lebih menakutkan.”
“Bawakan alat musik dan gadis penyanyi.” Pinta Hajjaj.
Alat musik itu dimainkan di gadis sambil bernyanyi. Saidpun menangis hingga membasahi jenggotnya.
“Kamu kenapa? Kamu terenyuh.”
“Tidak. Tapi saya melihat gadis ini dipaksa melakukan sesuatu yang bukan tujuan dia diciptakan.”
“Mengapa kamu tidak ikut tertawa seperti kami?” tanya Hajjaj.
“Karena hati kita berbeda dan tidak sama.”
“Aku akan ganti dinar ini menjadi api yang menyala.” Kata Hajjaj.
“Kalau kamu bisa, kamu tak sembah.” Tukas Said.
“Akan kubunuh kamu, dengan cara yang tidak pernah kulakukan pada orang lain. Silahkan pilih, cara apa yang kamu inginkan?” ancam Hajjaj.
“Sebaliknya, kamu pilih cara apa yang kamu inginkan. Demi Allah, cara apapun yang kau gunakan untuk membunuhku, pasti Allah akan membalasnya dengan cara yang sama pada hari kiamat.” Ancam balik Said.
“Bunuh dia!!” perintah Hajjaj.
Kemudian Said menghadap kiblat sambil membaca firman Allah,

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan tunduk. Dan saya bukan termasuk orang musyrikin.” (QS. Al-An’am: 79).
“Hadapkan dia ke selain arah kiblat.” Peritah Hajjaj.
Said membaca firman Allah,

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

Kemanapun kalian menghadap, di sana ada wajah Allah. (QS. Al-Baqarah: 79).
“Telungkupkan dia ke tanah.” Perintah Hajjaj.
Said tersenyum dan membaca firman Allah,

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى

Dari tanah Kami ciptakan kalian, ke tanah Kami kembalikan kalian, dan dari tanah Kami bangkitkan kalian untuk yang kedua kalinya. (QS. Thaha: 55).
“Sembelih dia.” Perintah Hajjaj.
Seketika itu Said berdoa,

اللهم لا تسلط هذا المجرم على أحد بعدي

“Ya Allah, jangan beri kesempatan orang dzalim ini untuk membunuh seorangpun setelah dia membunuhku.”
Beliau meninggal, wafat untuk beristirahat dari kejahatan penguasa dzalim, dan Allah ijabahi doanya.

Setelah kejadian itu, Hajjaj jatuh sakit. Keluar penyakit kulit di sekujur tubuhnya. Dia sakit sebulan penuh, tidak bisa merasakan makanan dan minuman, dan tidak bisa tidur nyenyak.

Setiap kali dia tidur, dia selalu bermimpi berenang di sungai darah. Dia selalu mengatakan, ‘Bagaimana nasibku dengan Said…bagaimana nasibku dengan Said…’ hingga dia mati.

Ibnu Jarir mengatakan, tahun kematian Said dikenal dengan tahun Ulama. Karena pada tahun itu, banyak ulama Madinah yang wafat. Dimulai dari Ali bin Husain Zainul Abidin (cucu Ali bin Abi Thalib), Urwah bin Zubair, Said bin Musayib, Abdurrahman bin Harits, dan Said bin Jubair. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 9/115).

Allahu a’lam.

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits

PELAJARAN DARI MENYERTAI ORANG-ORANG SHOLEH

Pada suatu hari, Syaqiq al-Balkhi –beliau termasuk salah seorang dokter hati- berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari dariku sejak menyertaiku (selama 30 tahun)?”

Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal:
Pertama, saya melihat orang-orang masih ragu mengenai rezeki. Tidak ada di antara mereka melainkan kikir terhadap harta yang ada di sisinya dan tamak terhadap hartanya. Lantas saya bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan firman-Nya:
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Karena saya termasuk makhluk bergerak, maka saya tidak peru menyibukkan hatiku dengan sesuatu yang telah dijamin oleh Dzat yang Maha Kuat dan Kokoh.”
Beliau berkata, “Engkau benar.”

Kedua, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai teman yang menjadi tempat baginya untuk membuka rahasia dan mencurahkan isi hatinya. Akan tetapi mereka tidak akan menyembunyikan rahasia dan tidak mampu melawan takdir. Oleh karena itu, yang saya jadikan sebagai teman ialah amal shalih agar dapat menjadi pertolongan bagiku pada saat dihisab, mengokohkanku di hadapan Allah Azza wa Jalla, serta menemaniku melewati shirath.
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Ketiga, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai musuh. Lalu saya merenung. Ternyata orang yang menggunjingku bukanlah musuhku, bukan pula orang yang berbuat zhalim kepadaku, dan bukan pula orang yang berbuat buruk kepadaku. Sebab, dia justru memberi hadiah kepadaku dengan amal-amal kebaikannya dan memikul perbuatan-perbuatan burukku. Akan tetapi, musuhku ialah sesuatu yang pada saat saya melakukan ketaatan kepada Allah, dia membujukku berbuat maksiat kepada-Nya. Hal tersebut adalah iblis, nafsu, dunia, dan keinginan. Oleh karena itu, saya menjadikan hal tersebut sebagai musuh, saya menjaga dirinya, dan saya mempersiapkan diri untuk memeranginya. Maka, saya tidak akan membiarkan salah satu dari semua itu mendekati saya.
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”
Keempat, saya memandang bahwa setiap orang hidup adalah orang yang dicari sedangkan malaikat Maut adalah pihak yang mencari. Oleh karena itu, saya mencurahkan diri saya untuk bertemu dengannya. Sehingga, ketika dia telah datang, saya dapat bersegera berangkat dengannya tanpa rintangan.”
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Kelima, saya melihat orang-orang saling mencintai dan saling membenci. Saya melihat orang yang mencintai tidak memiliki sedikit pun terhadap orang yang dicintainya, lalu saya merenungkan sebab cinta dan benci. Saya tahu bahwa sebabnya ialah keinginan dan dengki. Saya menyingkirkannya dari diri saya dengan menyingkirkan hal-hal yang menghubungkan antara diri saya dengannya, yaitu syahwat. Oleh karena itu, saya mencintai seluruh kaum muslimin. Saya hanya ridha kepada mereka sebagaimana saya ridha terhadap diri sendiri.
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Keenam, saya memandang bahwa setiap orang yang bertempat tinggal pasti meninggalkan tempat tinggalnya dan sesunguhnya tempat kembali setiap orang yang bertempat tinggal ialah alam kubur. Oleh karena itu, saya mempersiapkan semua amal perbuatan yang mampu saya lakukan yang dapat membuatku gembira di tempat tinggal yang baru yang di belakangnya tidak lain adalah surga atau neraka.
Kemudian Syaqiq al-Balkhi berkata, “Itu sudah cukup. Lakukanlah semua itu sampai mati.”


Sumber: Kisah Muslim