QIYAM ROMADLON
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا
تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ
يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
engkau mendahului Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi
orang yang terbiasa shaum, maka bolehlah ia shaum." Muttafaq Alaihi.
Seputar Qiyam Ramadhan
Yang dimaksud di sini adalah
shalat yang mendapatkan janji untuk diampuni. Penamaan shalat tersebut dengan
‘Qiyaam’ diambil dari sisi sebagian rukun-rukunnya sebagaimana ia juga
dinamakan dengan ruku’. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ruku’lah (shalatlah secara
berejama’ah) beserta orang-orang yang ruku’.” (Qs.al-Baqarah:43). Ia juga
dinamakan dengan sujud seperti firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya mereka
dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Qs.al-Qalam:43)
Rasulullah SAW bersabda, “Bantulah
aku atas dirimu dengan memperbanyak sujud.”
Barangkali penamaan tersebut
diberikan agar sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya berupa aktifitas
memperbanyak bacaan al-Qur’an dan memperlama berdiri (Qiyaam).
Keutamaan
Qiyamullail
Allah Ta’ala berfirman, “Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam.” (Qs.adz-Dzaariyaat:17). Dan firman-Nya, ”Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan
rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami
berikan kepada mereka. Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk
mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs.as-Sajdah:16)
Dalam kitab ash-Shahihain, dari
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai
Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan yang dulu pernah melakukan
qiyamullail (shalat tahajjud) lalu meninggalkannya.”
Di dalam sunan at-Turmudzy dengan
sanad yang sahih, dari Abdullah bin Sallam bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tebarkanlah
salam, berilah makanan, sambunglah tali rahim dan shalatlah di malam hari saat
manusia sedang terlelap tidur; pasti kalian masuk surga dengan penuh
kedamaian.”
Demikian juga, di dalam kitab
as-Sunan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam
satu malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang hamba Muslim mendapatkan
taufiq padanya dengan memohon kebaikan dari perkara dunia dan akhirat kepada
Allah melainkan Dia akan memberikan kepadanya.”
Di dalam Musnad Ahmad, sunan
at-Turmudzy, al-Mustadrak karya al-Hakim dan kitab lainnya, bahwasanya Nabi SAW
bersabda, “Hendaklah kalian melakukan qiyamullail, sebab ia adalah tradisi
orang-orang shalih sebelum kamu, pendekatan diri kepada Rabb kamu, penebus
dosa-dosa (kecil) dan pencegah dari melakukan dosa.”
Dan banyak lagi ayat-ayat,
hadits-hadits serta atsar-atsar yang menunjukkan keutamaan Qiyamullail dan
anjuran untuk melakukannya, segala puji bagi Allah.
Qiyam
Ramadhan
Yang dimaksud dengan Qiyam di
sini adalah shalat tarawih. Hal ini seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam
al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Asyah RA, ia berkata, “Suatu malam di bulan
Ramadhan, Nabi SAW melakukan shalat di masjid bersama beberapa orang. Kemudian
beliau melakukannya lagi di malam kedua lalu berkumpullah orang dalam jumlah
yang lebih banyak dari malam pertama. Maka tatkala pada malam ketiga dan
keempatnya, penuhlah masjid oleh manusia hingga menjadi sesak. Karena itu,
beliau tidak jadi keluar menemui mereka. Orang-orang memanggil beliau, lalu
beliau berkata, “Ketahuilah, perkara yang kalian lakukan itu tidaklah
tersembunyi bagiku (pahala, sisi positifnya), akan tetapi aku khawatir akan
dicatat sebagai kewajiban bagi kalian nantinya.” Di dalam riwayat al-Bukhari
terdapat tambahan, “Lalu Rasulullah SAW pun wafat dan kondisinya tetap seperti
itu (tidak dilakukan secara berjema’ah di masjid-red).”
Imam an-Nasa’i mengeluarkan dari
jalur Yunus bin Yazid, dari az-Zuhri dengan redaksi “Jazm” (pasti) bahwa malam
di mana Rasulullah SAW tidak keluar tersebut adalah malam keempat.”
Imam at-Turmudzy meriwayatkan
dengan sanad yang sahih, dari Abu Dzar, ia berkata, “Di kala kami berpuasa
Ramadhan bersama Rasulullah SAW, beliau tidak melakukan Qiyamullail bersama
kami dari bulan itu hingga tersisa tujuh hari lagi, lalu ia melakukannya
bersama kami hingga melewati sepertiga malam. Pada malam kelimanya, ia
melakukannya lagi bersama kami hingga melewati separuh malam. Lalu aku bertanya
kepadanya, ‘Wahai Rasulllah, andai dengan sukarela engkau melakukan Qiyamullail
bersama kami malam ini.’ Beliau menjawab, ‘Bila seseorang shalat bersama imam
hingga ia keluar (berlalu), maka telah dihitung baginya Qiyam semalam penuh.’
Maka tatkala pada malam ketiganya, beliau mengumpulkan keluarganya dan
orang-orang, lantas melakukan qiyamullail bersama kami hingga kami khawatir
ketinggalan sahur. Kemudian pada sisa hari bulan itu beliau tidak lagi
melakukannya bersama kami.”
Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ini
semua menunjukkan bahwa pelaksanaan Qiyam Ramadhan boleh dinisbatkan kepada
Nabi SAW sebab beliaulah yang menganjurkan dan mengamalkannya. Sedangkan yang
dilakukan ‘Umar hanyalah upaya menghidupkan kembali apa yang telah menjadi
sunnah Rasulullah SAW.”
Al-‘Iraqi berkata di dalam kitabnya
Tharh at-Tatsrib, “Hadits ‘Aisyah dapat dijadikan dalil bahwa Qiyam Ramadhan
lebih utama dilakukan di masjid secara berjema’ah karena Rasulullah SAW
melakukannya. Beliau meninggalkan hal itu karena takut ia menjadi suatu
kewajiban nantinya sementara setelah beliau wafat, maka sudah dapat terhindar
dari jatuhnya hal tersebut sebagai kewajiban.”
Inilah pendapat jumhur ulama kaum
Muslimin, di antaranya tiga imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad.
Hal ini kemudian telah menjadi syiar yang nampak (ditonjolkan).
Bilangan
Raka’atnya
Al-‘Iraqi berkata, “Dalam hadits
di atas, tidak dijelaskan bilangan raka’at yang dikerjakan Rasulullah SAW pada
beberapa malam tersebut di masjid. ‘Aisyah RA telah mengatakan, ‘Baik di bulan
Ramadhan mau pun lainnya, Nabi SAW tidak menambah lebih dari 11 raka’at.’
Secara implisit, bahwa demikian pulalah yang dilakukan beliau di tempat
tersebut (ketika malam itu). Akan tetapi ketika ‘Umar mengumpulkan orang-orang
untuk melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan mengikuti Ubay bin
Ka’b, maka ia melakukannya bersama mereka sebanyak 20 raka’at selain witir,
yaitu 3 raka’at. Pendapat seperti ini dipegang oleh imam-imam madzhab seperti
Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad. Juga diambl oleh imam ats-Tsauri dan jumhur
ulama.”
Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ini
adalah pendapat jumhur ulama dan pendapat yang kami pilih. Mereka menilai apa
yang terjadi pada masa ‘Umar itu sebagai ijma’ (konsensus).”
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah
berkata, “Nabi SAW belum pernah menentukan bilangan tertentu terhadap Qiyam
Ramadhan itu sendiri. Malahan, beliau melakukan tidak lebih dari 13 raka’at
namun memperpanjang (memperlama) raka’at-raka’atnya. Tatkala ‘Umar mengumpulkan
umat dengan mengikuti Ubay bin Ka’ab (sebagai imam), ia melakukan shalat itu
sebanyak 20 raka’at, kemudian witir 3 raka’at, meringankan bacaan seukuran
tambahan raka’atnya karena hal itu lebih ringan bagi para makmum daripada
memperpanjang (memperlama) per-raka’atnya. Artinya, seseorang boleh
melakukannya sebanyak 20 raka’at sebagaimana pendapat yang masyhur dari Ahmad
dan asy-Syafi’i. Ia juga boleh melakukannya dengan 36 raka’at seperti pendapat
imam Malik dan ia juga boleh melakukannya sebanyak 11 raka’at. Dengan demikian,
memperbanyak raka’at atau menguranginya tergantung kepada panjang-pendeknya
Qiyam itu. Sebaiknya, disesuaikan dengan perbedaan kondisi jema’ah shalat; jika
di antara mereka ada yang mampu untuk memperpanjang Qiyam dengan 10 raka’at
plus 3 raka’at setelahnya; maka ini lebih baik dan jika tidak mampu, maka qiyam
dengan 20 raka’at tersebut lebih baik. Inilah yang dilakukan kebanyakan kaum
Muslimin dan tidak dibenci sesuatu pun darinya.”
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali
Syaikh (mantan Mufti Arab Saudi-red) berkata, “Kebanyakan ulama seperti imam
Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa shalat tarawih adalah 20
raka’at sebab ketika ‘Umar mengumpulkan umat dengan mengikuti Ubay bin Ka’b, ia
melakukan shalat tersebut bersama mereka sebanyak 20 raka’at. Ini dilakukan di
tengah kehadiran para shahabat yang lain sehingga menjadi ijma’. Karenanya,
umat pun mengamalkan hal itu. Jadi, tidak semestinya mereka yang melakukan hal
itu diingkari tetapi biarkan mereka melakukan seperti itu.” Wallahul Muwaffiq
INTISARI
HADITS
1)
Makna Qiyam Ramadhan adalah menghidupkan
malam itu dengan ibadah dan shalat. Hadits di atas (yang kita kaji ini)
menunjukkan disyari’atkannya shalat malam di bulan Ramadhan. Shalat tersebut
secara valid telah dilakukan Rasulullah SAW di masjid, lalu pada masa ‘Umar
para shahabat telah bersepakat atasnya, untuk selanjutnya dilaksanakan oleh
seluruh kaum Muslimin setelah itu. Mereka mendirikan shalat tarawih.
2)
Balasan Qiyam Ramadhan adalah ampunan dosa
dan penghapusan dosa-dosa kecil. Tetapi ini dikaitkan dengan pengampunan
dosa-dosa kecil yang berhubungan dengan hak Allah. Penyebutan dengan kata
‘Zanb’ (dosa) mencakup dosa besar dan kecil akan tetapi Imam al-Haramain telah
memastikan bahwa hal itu hanya khusus dengan dosa-dosa kecil saja. Al-Qadhi
‘Iyadh menisbatkan pendapatkan ini kepada Ahlussunnah. Imam an-Nawawi berkata,
“Bila tidak ada dosa kecil, maka diharapkan dosa-dosa besarnya diringankan.”
3)
Diterimanya shalat malam itu dan diraihnya
penghapusan dosa-dosa kecil bisa terealisasi bila terpenuhi dua persyaratan:
Pertama, bila yang mendorong seseorang melakukan Qiyamullail itu adalah iman
dan pembenaran akan pahala Allah SWT. Kedua, mengharap pahala amalan tersebut
di sisi Alllah, ikhlas karena Allah. Bila suatu amalan kehilangan dua syarat
penting ini, lalu disusupi oleh riya’ dan sikap berbangga-bangga; maka ia
menjadi batal dan tertolak atas pelakunya, bahkan karenanya ia akan mendapatkan
celaan dan siksa.
4)
al-Karmani meriwayatkan adanya kesepakatan
ulama bahwa yang dimaksud dengan Qiyamullail itu adalah shalat tarawih dan
keutamaan ini didapat dengan apa pun bentuk qiyam (berdiri untuk shalat).
5)
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan Qiyam
Ramadhan, bahwa ia sangat dianjurkan sekali, demikian pula dengan shalat
tarawih secara berjema’ah di masjid. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan ulama
lainnya mengatakan, dulu di masa Nabi SAW, para shahabat melakukannya di masjid
secara terpisah-pisah, dalam beberapa kelompok/jema’ah yang berbeda dan hal itu
dilakukan atas sepengetahuan beliau SAW dan atas persetujuannya. Berdasarkan
banyak hadits, shalat tarawih lebih baik dikerjakan secara berjema’ah daripada
secara sendirian dan hal itu merupakan ijma’ para shahabat dan seluruh penduduk
negeri Islam. Itu juga adalah pendapat jumhur ulama.
6)
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Shalat
yang tidak disunnahkan dilakukan dengan berjema’ah secara tetap adalah seperti
qiyamullail (tahajjud), sunnah-sunnah rawatib, shalat dhuha, tahiyyatul masjid
dan lainnya. Tapi, boleh dilakukan berjema’ah untuk kadang waktu (tidak
dirutinkan). Ada pun menjadikannya sebagai sunnah yang ratib/tetap (secara
rutin) maka termasuk bid’ah yang dibenci
Sumber: Al-Shofwah
0 comments:
Post a Comment