BISMILLAH (1)
FAEDAH KETERANGAN HADITS TENTANG BASMALAH DAN
HAMDALAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits:
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لا يُبْدَأُ فِيهِ
بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أَقْطَعُ
“Setiap perkara yang memiliki kepentingan,
tidak diawali dengan “Bismillahirahmanirrahim” maka dia terputus.”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany (pakar hadits kurun ini)
berkata: Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan).
Telah diriwayatkan oleh As-Subuky dalam “Thabaqat Asy-Syafi’iyah
Al-Kubra” (6/1) dari Abu Hurairah secara marfu’. Sanad yang disebutkan As-Subuky
ini lemah sekali. Cacatnya ada pada rawi bernama Ibnu ‘Imran yang dikenal
dengan Ibnu Al-Jundy. Al-Khathib mengatakan dalam “Tarikh”nya: “Dia dilemahkan
dalam riwayatnya. Ibnul Jauzy menyebutkan rawi tersebut dalam penyebutan
hadits-hadits palsu.
As-Subuky membawakan jalur riwayat yang lain melalui Kharijah bin
Mush’ab. Tapi dengan lafazh “bihamdillah” bukan “bismillahirrahmanirrahim”.
Khrijah ini dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar: matruk (ditinggalkan
haditsnya), dia melakukan semacam penipuan periwayatan dari para pendusta.” Dan
disebutkan bahwa Ibnu Ma’in mendustakan Kharijah.
Jalur yang lain dari Muhammad bin Katsir Al-Mishishy. Dan rawi ini
lemah, karena dia banyak keliru, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh (Ibnu
Hajar).
Dari keterangan yang ada bahwa hadits ini dengan konteks tersebut
adalah lemah sekali. Jangan tertipu dengan orang yang menghasankannya. Karena
dalam jalur periwayatan ini ada kelemahan yang sangat, sebagaimana bisa kita
lihat.
(Dinukil secara ringkas dari Irwa’ Al-Ghalil: (1/29-30)
Hadits:
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بالحمد لله فهو
أقطع. وفي رواية: بحمد الله، وفي رواية: بالحمد، وفي رواية: فهو أجذم
“Setiap perkara yang memiliki kepentingan,
tidak diawali dengan “Alhamdulillah” maka dia terputus. Dalam riwayat: “dengan
hamdalah”, dalam riwayat: “dengan Alhamdu”, dalam riwayat: “maka dia
terpotong”.”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany (pakar hadits kurun ini)
berkata: Hadits ini lemah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah secara marfu’, Ibnu
Hibban, Ad-Daruquthny, dan Abu Dawud.
Abu Dawud mengisyaratkan bahwa hadits ini mursal (dari Az-Zuhry
langung dari Nabi, tidak menyebutkan dari Abu Hurairah, dan Zuhry tidak
mendengar ataupun ketemu Nabi). Demikian juga dikatakan oleh Ad-Daruquthny.
Rawi yang bernama Qurrah yang meriwayatkan secara marfu’ maka dia lebih lemah
dari pada rawi yang meriwayatkan secara mursal. Qurrah ini adalah Qurrah bin
Abdurrahman Al-Mighfary Al-Mishry. Ibnu Ma’in berkata tentangnya: “Lemah dalam
hal hadits”. Abu Zur’ah mengatakan: “Hadits-hadits yang dia riwayatkan itu
mungkar”. (Kemudian Asy-Syaikh Al-Albany berbicara panjang lebar tentang
kelemahan rawi ini). Diriwayatkan melalui jalur yang lain, yang mana lemah
juga. Padanya ada perawi bernama Shadaqah, dan dia lemah, sebagaimana kata
Al-Hafizh. Jadi secara keseluruhan: Hadits ini lemah, karena adanya kegoncangan
riwayat dari Az-Zuhry. (Dinukil secara ringkas dari Irwa’ Al-Ghalil: (1/30-32)
بسم الله الرحمن الرحيم
HADITS TENTANG KEUTAMAAN BASMALAH
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Adapun
hadits-hadits qauliyah tentang masalah basmalah, seperti hadits, ‘Kullu amrin
dzii baalin laa yubda’u fiihi bibismillaahi fahuwa abtar.’ hadits-hadits
tersebut adalah hadits yang dilemahkan oleh para ulama.” Hadits ini dikeluarkan
oleh Al Khathib dalam Al Jami’ (2/69,70), As Subki dalam Thabaqaat Syafi’iyah
Al Kubra, muqaddimah hal. 12 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
tetapi hadits itu adalah hadits dha’ifun jiddan (sangat lemah) karena ia
merupakan salah satu riwayat Ahmad bin Muhammad bin Imran yang dikenal dengan
panggilan Ibnul Jundi. Al Khathib berkata di dalam Tarikh-nya (5/77): ‘Orang
ini dilemahkan riwayat-riwayatnya dan ada celaan pada madzhabnya. Adapun
hadits: ‘Kullu amrin laa yubda’u fiihi bibismillaahiirahmaanirrahiim fahuwa
ajdzam’ adalah hadits dha’if, didha’ifkan Syaikh Al Albani dalam Dha’iful
Jaami’ 4217 (lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim tahqiq Hani Al Hajj,
1/24).
APAKAH BASMALAH TERMASUK AL FATIHAH ?
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Dalam masalah ini terdapat perbedaan
pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang berpendapat ia adalah
termasuk ayat dari Al Fatihah dan dibaca dengan keras dalam shalat jahriyah
(dibaca keras oleh imam) dan mereka berpandangan tidak sah orang yang shalat
tanpa membaca basmalah karena ia termasuk surat Al Fatihah. Dan ada pula di
antara mereka yang berpendapat bahwa ia bukan bagian dari Al Fatihah namun
sebuah ayat tersendiri di dalam Kitabullah. Pendapat inilah yang benar.
Dalilnya adalah nash serta konteks isi surat tersebut.” Kemudian beliau merinci
alasan beliau (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9 cet Darul Kutub ‘Ilmiyah).
SAHKAH SHALAT TANPA MEMBACA BASMALAH ?
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakar dan Umar mengawali shalat dengan membaca Alhamdulillaahi Rabbil
‘aalamiin (Muttafaqun ‘alaihi).
Muslim menambahkan: Mereka semua tidak membaca
bismillaahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akhirnya. Sedangkan dalam
riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah Anas berkata: Mereka semua tidak
mengeraskan bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim. Di dalam riwayat lainnya dalam
Shahih Ibnu Khuzaimah dengan kata-kata: Mereka semua membacanya dengan sirr
(pelan). Diantara faidah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
Ø
Tata cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para khulafa’ur rasyidin membuka bacaan shalat dengan alhamdulillaahi
rabbil ‘aalamiin.
Ø
Hadits ini menunjukkan bahwa basmalah bukan
termasuk bagian awal dari surat Al Fatihah. Oleh sebab itu tidak wajib
membacanya beriringan dengan surat ini. Akan tetapi hukum membacanya hanyalah
sunnah sebagai pemisah antara surat-surat, meskipun dalam hal ini memang ada
perselisihan pendapat ulama.
Para imam yang empat berbeda pendapat tentang hukum membaca
basmalah:
Ø
Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad
berpendapat bacaan itu disyari’atkan di dalam shalat.
Ø
Imam Malik berpendapat bacaan itu tidak
disyari’atkan untuk dibaca dalam shalat wajib, baik dengan pelan maupun keras.
Kemudian Imam yang tiga (Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad)
berselisih tentang hukum membacanya:
Ø
Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat
membacanya adalah sunnah bukan wajib karena basmalah bukan bagian dari Al
Fatihah.
Ø
Imam Syafi’i berpendapat membacanya adalah
wajib. (lihat Taudhihul Ahkaam, 1/413-414 cet. Dar Ibnul Haitsam)
KITABULLAH DIAWALI BASMALAH
Penulisan Al-Qur’an diawali dengan basmalah. Hal itu telah
ditegaskan tidak hanya oleh seorang ulama, di antara mereka adalah Al Qurthuby yarhamuhullah
di dalam tafsirnya. Beliau menyebutkan bahwa para sahabat radhiyallahu
‘anhum telah sepakat menjadikan basmalah tertulis sebagai ayat permulaan
dalam Al-Qur’an, inilah kesepakatan mereka yang menjadi permanen -semoga Allah
meridhai mereka- dan Al Hafizh Ibnu Hajar yarhamuhullah pun menyebutkan
pernyataan serupa di dalam Fathul Baari (Ad Dalaa’il Wal Isyaaraat
‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).
TELADAN NABI
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menulis surat
memulai dengan bismillaahirrahmaanirrahiim (lihat Shahih Bukhari
4/402 Kitabul Jihad Bab Du’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ilal
Islam wa Nubuwah wa ‘an laa Yattakhidza Ba’dhuhum Ba’dhan Arbaaban min
duunillaah wa Qauluhu ta’ala Maa kaana libasyarin ‘an yu’tiyahullaahu ‘ilman
ila akhiril ayah, Fathul Bari 6/109 lihatlah perincian tentang hal
ini di dalam Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad karya Ibnul Qayyim
3/688-696, beliau menceritakan surat menyurat Nabi kepada para raja dan lain
sebagainya (Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.
17). Di dalam Kitab Bad’ul Wahyi Imam Bukhari menyebutkan hadits: “Bismillahirrahmaanirrahiim
min Muhammadin ‘Abdillah wa Rasuulihi ila Hiraqla ‘Azhiimir Ruum…” (Shahih
Bukhari no. 7, Shahih Muslim no. 1773 dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,
lihat Hushuulul Ma’muul, hal. 9, lihat juga Ad Dalaa’il Wal Isyaaraat
‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).
MENJAHRKAN BASMALAH DALAM SHALAT JAHRIYAH
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: Apakah hukum menjahrkan
(mengeraskan bacaan) basmalah? Beliau menjawab: “Pendapat yang lebih kuat
adalah mengeraskan bacaan basmalah itu tidak semestinya dilakukan dan yang
sunnah adalah melirihkannya karena ia bukan bagian dari surat Al Fatihah. Akan
tetapi jika ada orang yang terkadang membacanya dengan keras maka tidak
mengapa. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hendaknya memang
dikeraskan kadang-kadang sebab adanya riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengeraskannya (HR. Nasa’i di dalam Al Iftitah
Bab Qiro’atu bismillahirrahmaanirrahiim (904), Ibnu Hibban 1788, Ibnu
Khuzaimah 499, Daruquthni 1/305, Baihaqi 2/46,58) Akan tetapi hadits yang jelas
terbukti keabsahannya menerangkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa tidak mengeraskannya (berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu: Aku pernah shalat menjadi makmum di belakang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan
tidak ada seorang pun di antara mereka yang memperdengarkan bacaan
bismillahirrahmanirrahiim (HR. Muslim dalam kitab Shalat Bab Hujjatu
man Qoola la yajharu bil basmalah (399)) Akan tetapi apabila seandainya ada
seseorang yang menjahrkannya dalam rangka melunakkan hati suatu kaum yang
berpendapat jahr saya berharap hal itu tidak mengapa.” (Fatawa Arkanil Islam,
hal. 316-317)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassaam mengatakan: “Syaikhul
Islam mengatakan: Terus menerus mengeraskan bacaan (basmalah) adalah bid’ah dan
bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
hadits-hadits yang menegaskan cara keras dalam membacanya semuanya adalah
palsu.” (Taudhihul Ahkaam, 1/414) Imam Ibnu Katsir mengatakan : “…para
ulama sepakat menyatakan sah orang yang mengeraskan bacaan basmalah maupun yang
melirihkannya…” (Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim, 1/22).
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ
كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ يَبْلُغُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ
اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ
Jika salah seorang dari kalian ingin mendatangi isterinya (untuk
bersetubuh), maka hendaklah ia membaca; 'ALLAHUMMA JANNIBNASY SYAITHAANA WA
JANNIBISY SYAITHAANA MAA RAZAQTANAA (Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan &
jauhkanlah setan dari apa yg Engkau rizkikan (anak) kepada kami) '. Jika
dikaruniai anak dari hubungan keduanya maka setan tak akan dapat mencelakakan
anak itu. [HR. Bukhari No.138].
Al-Quran banyak menjelaskan tentang Bismillah. Dengan Nama Allah
kita dihimbau untuk mengenal kejadian diri dan alam sekitar kita. Dengan ucapan
Bismillah juga Nabi Nuh dan para pengikutnya berlayar mengharungi banjir
besar,dengan arah serta tujuan yang belum mereka ketahui. Dengan Bismillah itu
mereka berlayar dalam pengawasan dan tuntutan langsung dari Allah. Sewaktu
hendak mendarat mereka juga mengucap Bismillah untuk memasuki daerah yang baru
saja direndam dan dimusnahkan oleh banjir yang luar biasa dengan jaminan hidup
dan keselamatan dari Allah.Bismillah-nya Nabi Sulaiman demikian mantap hingga
tak satu pun binatang,manusia,atau jin yang berani menentangnya. Bismillah
telah menjadi senjata Nabi Sulaiman yamg paling ampuh,dimana sebahagian kecil
dari keampuhannya itu,Insya Allah dapat kita miliki.
Dalam pelaksanaannya ,ada dua tempat atau saat di mana kita
mengingat nama Allah,sekurang-kurangnya pada salah satu di antara
keduanya,iaitu saat menyembelih atau memetiknya dan saat akan memakannya.
Apabila kita ingin berdoa dengan harapan yang baik supaya diredai Allah dan
diucapkan dengan “bismillaahirrahmaanirrahim”,dengan izin Allah doa itu akan
termakbulkerana dengan berkah nama Allah yang penuh dengan kasih saying. Dengan
bacaan yang khusyuk,seseorang dapat mengagungkan ayat Allah untuk kesejahteraan
umat Islam seiring dengan niat suci di dalam hati. Hal ini terjadi bagi mereka
yang ingin membantu orang lain dengan rasa kasih saying dan bertanggungjawab.
0 comments:
Post a Comment