AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH: TOLOK UKUR UMMAT ISLAM DALAM BERTINDAK
Seseorang yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an, maka tentu ia
akan beriman pula terhadap apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an, semua yang
diperingtahkan oleh Al-Qur’an akan dilaksanaknnya dan semua yang dilarang oleh
Al-Qur’an otomatis akan ditinggalkannya. Ia akan menjadikan Al-Qur’an sebagai
tolok ukur atas perbuatannya, standar untuk mengetahui apakah suatu perbuatan
itu benar atau salah. Bahkan lebih dari itu, keimanan seorang muslim kepada
Al-Qur’an juga mewajibkan dirinya untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah
serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai satu-satunya tolok ukur dalam
berfikir dan berbuat. Dengan demikian seseorang yang menyakini Al-Qur’an dan
As-Sunnah tidak dibenarkan mengadopsi
dan meyakini pemikiran, keyakinan (akidah), konsep perbuatan, konsep
peribadatan maupun hukum-hukum yang bersumber selain dari keduanya.
Hal tersebut merupakan konsekwensi logis dan sebagai bentuk manifestasi
keimanan seorang muslim terhdap Kitabulloh dan kenabian Muhammad SAW. Al-Qur’an
dan As-Sunnah wajib dijadikan sebagai satu-satunya landasan dalam berfikir, berbuat,
beribadah, dan berhukum sehingga kebenaran apapun yang dianggap benar namun
tidak merujuk pada keduanya, maka itu merupakan sesuatu yang bathil. Allah SWT
berfirman di dalam Al-Qur’an:
وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِىۡ مُسۡتَقِيۡمًا فَاتَّبِعُوۡهُ ۚ وَلَا
تَتَّبِعُوۡا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ ﴿الانعام : ۱۵۳﴾
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus,
Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)
قُلۡ اِنِّىۡ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنۡ
رَّبِّىۡ وَكَذَّبۡتُمۡ بِهٖؕ
مَا عِنۡدِىۡ مَا تَسۡتَعۡجِلُوۡنَ بِهٖؕ اِنِ الۡحُكۡمُ اِلَّا لِلّٰهِؕ يَقُصُّ
الۡحَـقَّ وَهُوَ خَيۡرُ الۡفٰصِلِيۡنَ ﴿الانعام: ۵۷﴾
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang
nyata (Al Quran) dari Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada
padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan
yang paling baik". (QS. Al-An’am: 57)
اَفَغَيۡرَ اللّٰهِ اَبۡتَغِىۡ حَكَمًا وَّهُوَ الَّذِىۡۤ
اَنۡزَلَ اِلَيۡكُمُ الۡـكِتٰبَ مُفَصَّلاً ؕ وَالَّذِيۡنَ اٰتَيۡنٰهُمُ الۡـكِتٰبَ
يَعۡلَمُوۡنَ اَنَّهٗ مُنَزَّلٌ مِّنۡ رَّبِّكَ بِالۡحَـقِّ فَلَا تَكُوۡنَنَّ
مِنَ الۡمُمۡتَرِيۡنَ ﴿الانعام: ۱۱۴﴾
Maka Patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal
Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci?
orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui
bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah
kamu sekali-kali Termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. Al.An’am: 114)
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “ patutkah
aku mencari hakim selain Allah padahal dialah yang memberikanmu perlindungan
dan Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) dengan rinci dan jelas?”.
Pada ayat yang lain, Allah juga memerintahkan kepada kaum Muslimin
untuk menjadikan apa yag ditetapkan oleh Rasululloh sebagai sumber hukum yang
wajib hukumnya untuk ditaati, bahkan siapa saja yang mengingkari dan menolaknya
maka ia telah dihukumi kafir, sebagamana firman-Nya:
اَلَمۡ تَرَ
اِلَى الَّذِيۡنَ يَزۡعُمُوۡنَ اَنَّهُمۡ اٰمَنُوۡا بِمَاۤ
اُنۡزِلَ اِلَيۡكَ وَمَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِكَ
يُرِيۡدُوۡنَ اَنۡ يَّتَحَاكَمُوۡۤا اِلَى الطَّاغُوۡتِ
وَقَدۡ اُمِرُوۡۤا اَنۡ يَّكۡفُرُوۡا
بِهٖ ؕ وَيُرِيۡدُ الشَّيۡـطٰنُ اَنۡ يُّضِلَّهُمۡ ضَلٰلًاۢ بَعِيۡدًا ﴿۶۰﴾
وَاِذَا
قِيۡلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡا اِلٰى مَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوۡلِ
رَاَيۡتَ الۡمُنٰفِقِيۡنَ يَصُدُّوۡنَ عَنۡكَ صُدُوۡدًا ۚ ﴿۶۱﴾
Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ?
mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah
mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya.
(QS. An-Nisa’: 60)
Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu Lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisa’: 61)
Imam
ibnul ‘Aroby menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan
perselisihan antara orang yaudi dan munafik, lalu mereka menyampaikan masalah
mereka kepada Rasululloh. Perkara itupun diputuskan oleh Rasululloh akan tetapi
orang munafik itu tidak rela. Lalu mereka mengajukan perkara mereka kepada Abu
Bakar, namun orang munafik itu tetap saja tidak rela. Kemudian mereka
menyampakannya kepada Umar bin Khottob, lalu Umar masuk dan mengambil pedangnya
dan Umarpun memenggal kepala orang munafik itu hingga tewas. Keluarga orang
munafik itu melaporkan perkara tersebut kepada Rasululloh SAW, Umar mengatakan,
“Wahai Rasululloh, ia telah menolak keputusanmu”. Rasululloh menjawab, “engkau
adalah Al-Faruq”. Lalu turunlah firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 61-62.
Atas dasar itu, siapapun yang menolak ketetapan Rasululloh, maka ia telah kafir
dan halal darahnya.
Adapun
kata “Thogut” pada ayat 60 surat An-Nisa’ tersebut, Ibnul ‘Arobi
mengutip perkataan Imam Malik yang menyatakan, Thogut adalah semua hal selain
Allah yang disembah manusia, seperti berhala, pendeta, ahli sihir atau semua
hal yang menyebabkan syirik.
Ayat-ayat
yang tersebut di atas dengan gambling menjelaskan bahwa tolok ukur ummat Islam
dalam berbuat, berfikir, dan berhukum adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seorang Muslim
wajib menjadikan keduanya sebagai landasan dalam berfikir dan bertindak
sehingga tidak dibenarkan menjadikan selain keduanya sebagai tolok ukur dalam
menentukan standar kebenaran.
* Islam Menjawab oleh Fathy Syamsuddin Ramadlan An-Nawy
0 comments:
Post a Comment