UMAR BIN ABDUL AZIZ Vs PEMIMPIN MASA KINI
Ironis memang Negara Indonesia yang mengagungkan system demokrasi
ini. Betapa tidak, mereka para kepala daerah yang dipilih rakyat untuk
mengayomi rakyat malah menghianati rakyat. Dari 524 kepala daerah dan wakil
kepala daerah, 318-nya tersengkut korupsi. Sungguh angka yang cukup fantastis jika
dibandingkan dengan jumah keseluruhan kepala daerah di Indonesia yang 524
orang.
Kondisi tersebut seharunya dijadikan bahan pembelajaran, bahwa ada
yang salah dalam menjalankan roda pemerintahan di Negara ini. Sehingga jangan
lagi ketika terjadi hal-hal yang sama, yang disalahkan adalah personalnya saja.
Toh juga walaupun setiap kali orang-orang yang melakukan tindakan
korupsi diberikan sanksi, itu membuat pelaku yang lain menjadi gentar, malah
semakin lama semakin beranak pinak. Bukankah ini menunjukkan ada hal lain yang
menjadi penyababnya.
Kalau kita mau mengambil tauladan, mungkin kita bisa membaca
kembali sejarah-sejarah pemimpin kaum Muslimin dimasa lalu yang ketika itu
syari’at Islam benarbenar diterpakan. Sebagai contoh kecil saja Kholifah Umar
bin Abdul Aziz. Dalam catatan sejarah Islam, Umar bin Abdul Aziz diangkan
menjadi Kholifah pada usia 37 tahun.
Namun bagaimana sikap Umar ketika diangkat menjadi Kholifah? Apa yang
dipikiran beliau saat diangkat menjadi Kholifah? Apakah ia berpoya-poya,
bergembira, mengadakan pesta dengan dengan menghambur-hamburkan uang Negara? Ternyata
tidak, beliau bahkan menangis, Ia
memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan. Di dalam tangisnya,
Umar mengucapkan kalimat : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun”, sambil
berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun,
baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan”.
Melihat
kondisi sang Khalifah seperti itu, beberapa penyair datang dengan maksud ingin
menghiburnya, tetapi Khalifah Umar menolak dengan baik. Sikap Khalifah Umar itu
turut mendapat perhatian anaknya. Walaupun dia berusaha mencari
penyebabnya, namun anak Umar gagal mendapat jawabannya. Hal yang sama
dilakukan istrinya, Fatimah. Fatimah berkata kepada suaminya: “Wahai suamiku,
mengapa engkau menangis seperti itu? Umar pun menjawab. “Sesungguhnya aku telah
diangkat menjadi khalifah untuk memimpin urusan umat Nabi Muhammad SAW”.
Sang
Khalifah berkata kepada istri dan anaknya: “Aku termenung dan terpaku memikirkan
nasib
para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapat perhatian dari
pemimpinnya. Aku juga memikirkan orang-orang sakit yang tidak mendapati
obat yang memadai. Hal yang sama terpikir olehku tentang orang-orang yang tidak
mampu membeli pakaian, orang-orang yang selama ini dizalimi dan tidak ada yang
membela, mereka yang mempunyai keluarga yang ramai dan hanya memiliki sedikit
harta, orang-orang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang menderita di
pelosok negeri ini, dan lain sebagainya”.
Sang
Khalifah melanjutkan kesedihannya, “Aku sadar dan memahami sepenuh hati, bahwa
Allah
SWT pasti akan meminta pertanggungjawaban dariku, sebab hal ini adalah amanah
yang terpikul di pundakku. Namun aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu
dan sanggup memberikan bukti kepada Allah swt, bahwa aku telah melaksanakan
amanah itu dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Tuhanku. Atas dasar
itulah, wahai istri dan anakku, sehingga aku menangis”
Sekarang
bandingkan antara Kholifah Umar bin Abdul Aziz dengan pejabat-pejabat
pemerintahan yang diamanahi arusan ummat saat ini. Jika Umar bin Abdul Aziz
sedih karena pengangkatannya sebagai kholifah, beda lagi dengan saat ini yang
orang-orang rela menghabiskan miliyaran rupiah agar bisa menjadi pemimpin,
bahkan tidak sedikit praktik sogok menyogokpun terjadi. Kalau mau
memilih, maka Umar bin Abdul Aziz mestinya paling gembira karena menjadi
pemimpin ummat yang tidak hanya terbatas pada satu Negara saja dibandingkan
dengan pemimpin-pemimpin saat ini yang dipilih oleh rakyat hanya untuk memimpin
satu Negara, provinsi, kabupaten, atau bahkan satu desa saja.
Umar
bin Abdul Aziz ketika diangkat menjadi Kholifah mengucapkan “Inna Lillahi wa
Inna Ilaihi Roji`un” namun pemimpin saat ini malah mengadakan pesta meriah
untuk merayakan kemenangan dalam pemilihan.
Dari segi hasil, dalam 2 tahun 6 bulan saja, kemakmuran sudah
diraih oleh rakyat karena konsep ekonomi Islam yang diterapkan olehnya. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim
surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitulmaal karena sudah tidak ada lagi
orang yang mau menerima zakat. Satu kondisi yang berbeda dengan negeri kita
dimana orang berebut hanya untuk menerima zakat, meski nyawa taruhannya.
Lalu Umar
bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa
menerima upah. Lalu Yazid menjawab:”sudah diberikan namun dana zakat masih
berlimpah di Baitulmaal”. Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan
kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata:”kami sudah bayarkan
hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah”. Lalu Umar bin Abdul
Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan maharnya.
Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana zakat di
Baitul Maal masih berlimpah. Pada
akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang
usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus
mengembalikannya.
Demikianlah untuk sekedar mengentaskan kemiskinan dan menjadikan Negara
makmur, hanya dengan zakat semua itu bisa tercapai dengan catatan semuanya
dikelola dengan benar dan tepat apalagi jika ditambah dengan pengelolaan yang
benar terhadap kekayaan alam yang ada di negeri-negeri kaum Muslimin dan
Indonesia pada khususnya, tentu hasilnya akan jauh lebih fantastis lagi.
Wallohu A’lam.
0 comments:
Post a Comment