Monday, September 15, 2014

AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH: TOLOK UKUR UMMAT ISLAM DALAM BERTINDAK

Seseorang yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an, maka tentu ia akan beriman pula terhadap apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an, semua yang diperingtahkan oleh Al-Qur’an akan dilaksanaknnya dan semua yang dilarang oleh Al-Qur’an otomatis akan ditinggalkannya. Ia akan menjadikan Al-Qur’an sebagai tolok ukur atas perbuatannya, standar untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu benar atau salah. Bahkan lebih dari itu, keimanan seorang muslim kepada Al-Qur’an juga mewajibkan dirinya untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai satu-satunya tolok ukur dalam berfikir dan berbuat. Dengan demikian seseorang yang menyakini Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak dibenarkan mengadopsi  dan meyakini pemikiran, keyakinan (akidah), konsep perbuatan, konsep peribadatan maupun hukum-hukum yang bersumber selain dari keduanya.

Hal tersebut merupakan konsekwensi logis dan sebagai bentuk manifestasi keimanan seorang muslim terhdap Kitabulloh dan kenabian Muhammad SAW. Al-Qur’an dan As-Sunnah wajib dijadikan sebagai satu-satunya landasan dalam berfikir, berbuat, beribadah, dan berhukum sehingga kebenaran apapun yang dianggap benar namun tidak merujuk pada keduanya, maka itu merupakan sesuatu yang bathil. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an:

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِىۡ مُسۡتَقِيۡمًا فَاتَّبِعُوۡهُ‌ ۚ وَلَا تَتَّبِعُوۡا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ‌ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ‏ ﴿الانعام : ۱۵۳
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)

قُلۡ اِنِّىۡ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنۡ رَّبِّىۡ وَكَذَّبۡتُمۡ بِهٖ‌ؕ مَا عِنۡدِىۡ مَا تَسۡتَعۡجِلُوۡنَ بِهٖؕ اِنِ الۡحُكۡمُ اِلَّا لِلّٰهِ‌ؕ يَقُصُّ الۡحَـقَّ‌ وَهُوَ خَيۡرُ الۡفٰصِلِيۡنَ‏ ﴿الانعام: ۵۷
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am: 57)


اَفَغَيۡرَ اللّٰهِ اَبۡتَغِىۡ حَكَمًا وَّهُوَ الَّذِىۡۤ اَنۡزَلَ اِلَيۡكُمُ الۡـكِتٰبَ مُفَصَّلاً‌ ؕ وَالَّذِيۡنَ اٰتَيۡنٰهُمُ الۡـكِتٰبَ يَعۡلَمُوۡنَ اَنَّهٗ مُنَزَّلٌ مِّنۡ رَّبِّكَ بِالۡحَـقِّ‌ فَلَا تَكُوۡنَنَّ مِنَ الۡمُمۡتَرِيۡنَ‏ ﴿الانعام: ۱۱۴

Maka Patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali Termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. Al.An’am: 114)

Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “ patutkah aku mencari hakim selain Allah padahal dialah yang memberikanmu perlindungan dan Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) dengan rinci dan jelas?”.

Pada ayat yang lain, Allah juga memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk menjadikan apa yag ditetapkan oleh Rasululloh sebagai sumber hukum yang wajib hukumnya untuk ditaati, bahkan siapa saja yang mengingkari dan menolaknya maka ia telah dihukumi kafir, sebagamana firman-Nya:

اَلَمۡ تَرَ اِلَى الَّذِيۡنَ يَزۡعُمُوۡنَ اَنَّهُمۡ اٰمَنُوۡا بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَيۡكَ وَمَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِكَ يُرِيۡدُوۡنَ اَنۡ يَّتَحَاكَمُوۡۤا اِلَى الطَّاغُوۡتِ وَقَدۡ اُمِرُوۡۤا اَنۡ يَّكۡفُرُوۡا بِهٖ ؕ وَيُرِيۡدُ الشَّيۡـطٰنُ اَنۡ يُّضِلَّهُمۡ ضَلٰلًاۢ بَعِيۡدًا‏ ﴿۶۰
وَاِذَا قِيۡلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡا اِلٰى مَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوۡلِ رَاَيۡتَ الۡمُنٰفِقِيۡنَ يَصُدُّوۡنَ عَنۡكَ صُدُوۡدًا‌ ۚ‏ ﴿۶۱ 
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’: 60)
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisa’: 61)

Imam ibnul ‘Aroby menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan perselisihan antara orang yaudi dan munafik, lalu mereka menyampaikan masalah mereka kepada Rasululloh. Perkara itupun diputuskan oleh Rasululloh akan tetapi orang munafik itu tidak rela. Lalu mereka mengajukan perkara mereka kepada Abu Bakar, namun orang munafik itu tetap saja tidak rela. Kemudian mereka menyampakannya kepada Umar bin Khottob, lalu Umar masuk dan mengambil pedangnya dan Umarpun memenggal kepala orang munafik itu hingga tewas. Keluarga orang munafik itu melaporkan perkara tersebut kepada Rasululloh SAW, Umar mengatakan, “Wahai Rasululloh, ia telah menolak keputusanmu”. Rasululloh menjawab, “engkau adalah Al-Faruq”. Lalu turunlah firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 61-62. Atas dasar itu, siapapun yang menolak ketetapan Rasululloh, maka ia telah kafir dan halal darahnya.

Adapun kata “Thogut” pada ayat 60 surat An-Nisa’ tersebut, Ibnul ‘Arobi mengutip perkataan Imam Malik yang menyatakan, Thogut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia, seperti berhala, pendeta, ahli sihir atau semua hal yang menyebabkan syirik.

Ayat-ayat yang tersebut di atas dengan gambling menjelaskan bahwa tolok ukur ummat Islam dalam berbuat, berfikir, dan berhukum adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seorang Muslim wajib menjadikan keduanya sebagai landasan dalam berfikir dan bertindak sehingga tidak dibenarkan menjadikan selain keduanya sebagai tolok ukur dalam menentukan standar kebenaran.



Islam Menjawab oleh Fathy Syamsuddin Ramadlan An-Nawy





0 comments:

Post a Comment

Blog Archive