Thursday, September 18, 2014

UMAR BIN ABDUL AZIZ Vs PEMIMPIN MASA KINI

Ironis memang Negara Indonesia yang mengagungkan system demokrasi ini. Betapa tidak, mereka para kepala daerah yang dipilih rakyat untuk mengayomi rakyat malah menghianati rakyat. Dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah, 318-nya tersengkut korupsi. Sungguh angka yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan jumah keseluruhan kepala daerah di Indonesia yang 524 orang.

Kondisi tersebut seharunya dijadikan bahan pembelajaran, bahwa ada yang salah dalam menjalankan roda pemerintahan di Negara ini. Sehingga jangan lagi ketika terjadi hal-hal yang sama, yang disalahkan adalah personalnya saja. Toh juga walaupun setiap kali orang-orang yang melakukan tindakan korupsi diberikan sanksi, itu membuat pelaku yang lain menjadi gentar, malah semakin lama semakin beranak pinak. Bukankah ini menunjukkan ada hal lain yang menjadi penyababnya.

Kalau kita mau mengambil tauladan, mungkin kita bisa membaca kembali sejarah-sejarah pemimpin kaum Muslimin dimasa lalu yang ketika itu syari’at Islam benarbenar diterpakan. Sebagai contoh kecil saja Kholifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam catatan sejarah Islam, Umar bin Abdul Aziz diangkan menjadi Kholifah pada usia 37 tahun.

Namun bagaimana sikap Umar ketika diangkat menjadi Kholifah? Apa yang dipikiran beliau saat diangkat menjadi Kholifah? Apakah ia berpoya-poya, bergembira, mengadakan pesta dengan dengan menghambur-hamburkan uang Negara? Ternyata tidak, beliau bahkan menangis, Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan. Di dalam tangisnya, Umar mengucapkan kalimat : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun”, sambil  berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan”.

Melihat kondisi sang Khalifah seperti itu, beberapa penyair datang dengan maksud ingin menghiburnya, tetapi Khalifah Umar menolak dengan baik. Sikap Khalifah Umar itu turut mendapat perhatian anaknya. Walaupun dia berusaha mencari  penyebabnya, namun anak Umar gagal mendapat jawabannya. Hal yang sama dilakukan istrinya, Fatimah. Fatimah berkata kepada suaminya: “Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti itu? Umar pun menjawab. “Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi khalifah untuk memimpin urusan umat Nabi Muhammad SAW”.

Sang Khalifah berkata kepada istri dan anaknya: “Aku termenung dan terpaku memikirkan
nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapat perhatian dari  pemimpinnya. Aku juga memikirkan orang-orang sakit yang tidak mendapati obat yang memadai. Hal yang sama terpikir olehku tentang orang-orang yang tidak mampu membeli pakaian, orang-orang yang selama ini dizalimi dan tidak ada yang membela, mereka yang mempunyai keluarga yang ramai dan hanya memiliki sedikit harta, orang-orang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang menderita di pelosok negeri ini, dan lain sebagainya”.

Sang Khalifah melanjutkan kesedihannya, “Aku sadar dan memahami sepenuh hati, bahwa
Allah SWT pasti akan meminta pertanggungjawaban dariku, sebab hal ini adalah amanah yang terpikul di pundakku.  Namun aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu dan sanggup memberikan bukti kepada Allah swt, bahwa aku telah melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Tuhanku. Atas dasar itulah, wahai istri dan anakku, sehingga aku menangis”

Sekarang bandingkan antara Kholifah Umar bin Abdul Aziz dengan pejabat-pejabat pemerintahan yang diamanahi arusan ummat saat ini. Jika Umar bin Abdul Aziz sedih karena pengangkatannya sebagai kholifah, beda lagi dengan saat ini yang orang-orang rela menghabiskan miliyaran rupiah agar bisa menjadi pemimpin, bahkan tidak sedikit praktik sogok menyogokpun terjadi. Kalau mau memilih, maka Umar bin Abdul Aziz mestinya paling gembira karena menjadi pemimpin ummat yang tidak hanya terbatas pada satu Negara saja dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin saat ini yang dipilih oleh rakyat hanya untuk memimpin satu Negara, provinsi, kabupaten, atau bahkan satu desa saja.

Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat menjadi Kholifah mengucapkan “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji`un” namun pemimpin saat ini malah mengadakan pesta meriah untuk merayakan kemenangan dalam pemilihan.

Dari segi hasil, dalam 2 tahun 6 bulan saja, kemakmuran sudah diraih oleh rakyat karena konsep ekonomi Islam yang diterapkan olehnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitulmaal karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat. Satu kondisi yang berbeda dengan negeri kita dimana orang berebut hanya untuk menerima zakat, meski nyawa taruhannya.

Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa menerima upah. Lalu  Yazid menjawab:”sudah diberikan namun dana zakat masih berlimpah di Baitulmaal”. Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata:”kami sudah bayarkan hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah”. Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana zakat di Baitul  Maal masih berlimpah. Pada akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan  Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus mengembalikannya.

Demikianlah untuk sekedar mengentaskan kemiskinan dan menjadikan Negara makmur, hanya dengan zakat semua itu bisa tercapai dengan catatan semuanya dikelola dengan benar dan tepat apalagi jika ditambah dengan pengelolaan yang benar terhadap kekayaan alam yang ada di negeri-negeri kaum Muslimin dan Indonesia pada khususnya, tentu hasilnya akan jauh lebih fantastis lagi.

Wallohu A’lam.



0 comments:

Post a Comment

Blog Archive